Perenang Menungkah Arus.
Untuk apa kau bertanya?
Bukankah ia tidak penting dalam dunia mu?
Ya dunia mu...
dunia tak menghiraukan,
dunia kepura-puraan,
dunia kebisuan,
dunia kejahilan,
Endah hanya untuk diprovoke,
Hanya menegakkan benang yang basah,
Hanya mesra bicara pada maya,
Hanya bijak pada yang sia-sia,
Itulah dunia mu!
Aku berkhayal merenung diri mu yang menjadi
bahan mainan maya,
Gembira dan emosi berselang-seli menakluki
jiwa,
Jiwa mu seperti tertambat dek satu kuasa
yang tak terlihat,
Sampai bila? Haruskah aku meruntuhkan
jurang ini? Atau aku menyusup ke dunia itu?
Termanggu di sisi merasa diri ivarat
prasasi tak bernilai,
Ingatan menggamit keakraban dulu..
Rawan hati menyusuri setiap memori indah
yang melewati takah-takah hidup,
Mengapa dunia maya lebih menggembirakan?
Mengapa tidak di dunia nyata?
Keuntungan apa hingga menjadika maya
sebagai ketuhanan mu?
Kita ini sedang berpijak di dunia yang
nyata.
Tercetus persoalan itu di venak yang makin
senak,
Keluhan kesal dilepaskan lagi agar tidak
menjadi beban kelak,
Aku lekas sedar diri lantas mengumamkan
harapan bernama doa,
aku tidak berhak menghukum penghuni alam
maya atau memuji-muji alam nyata,
Cuma resah yang terpalit tak dapat
dilenyapkan,
Aku vberenang menungkah arus
ombak...mungkin..
Tidak..aku hanya letih melihat manusia di
alam mimpi,
Hatta tak menjaga akhlak ketika gelak,
Lancang berhujah tanpa asas akidah,
Rakus mencabar dari bersabar,
Berlumva kea rah kejatuhan dari
kebangkitan,
Bertunjangkan nafas kebencian bukan cinta
sesama makhluk,
Sungguh kita tertipu..
Nukilan, Zara Faihanah – 14 November 2016,
30 Safar 1438H